Kabar Konservasi

20 Juta Hektare Hutan Dibuka, Krisis Iklim kian Parah

Rencana pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk mengubah 20 juta hektare hutan menjadi area produksi pangan, energi, dan air menuai kekhawatiran serius terhadap komitmen Indonesia dalam menjaga iklim dan keanekaragaman hayati.

Rencana ini pertama kali disampaikan oleh Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni setelah rapat terbatas di Istana Negara pada Desember lalu. Namun, sejumlah organisasi lingkungan mengkritiknya dengan keras, menilai konversi hutan tersebut berpotensi mempercepat degradasi lingkungan, memicu kepunahan spesies, dan berdampak buruk bagi masyarakat adat maupun komunitas lokal yang menggantungkan hidupnya pada kelestarian hutan.

Menurut Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, Selasa, 7 Januari 2025, ide kedaulatan pangan dan energi yang diusung Prabowo justru akan menjadi ilusi belaka jika dicapai dengan mengorbankan hutan, karena alih fungsi lahan hanya akan memperburuk krisis iklim dan dampaknya yang berlapis.

“Pembukaan 20 juta hektare hutan jelas akan meningkatkan emisi karbon, termasuk juga memicu kebakaran dan kabut asap jika alih fungsi lahan ini dilakukan di lahan gambut. Ujungnya adalah kegagalan pemerintah memenuhi komitmen untuk mengatasi krisis iklim dan menjaga keanekaragaman hayati,” ujarnya. 

Rencana tersebut bertentangan dengan komitmen internasional Indonesia, salah satunya dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati. Dalam konvensi tersebut, pemerintah telah berjanji untuk menghentikan kepunahan akibat aktivitas manusia pada tahun 2030, mengurangi risiko kepunahan, dan melestarikan keanekaragaman genetik.

Selain itu, Indonesia juga memiliki target iklim yang tercantum dalam Nationally Determined Contribution (NDC) di bawah Perjanjian Paris. Negara ini berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% secara mandiri dan hingga 43,2% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Komitmen ini sebagian besar bergantung pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Forest and Land Use atau FoLU), termasuk upaya pengurangan deforestasi.

Namun, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji, menilai bahwa Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni tidak memberikan kejelasan terkait lokasi 20 juta hektare lahan yang disebut telah diidentifikasi untuk pangan, energi, dan air. “Berdasarkan analisis kami, kebutuhan lahan seluas itu jelas berpotensi memicu deforestasi di hutan alam Indonesia. Pemerintah seharusnya menyetop deforestasi secara total karena kita tak punya pilihan lagi kalau memang ingin selamat dari bencana iklim,” kata Sekar.

Sekar juga menyoroti bahwa pemerintahan sebelumnya, di bawah Presiden Joko Widodo, telah mengalokasikan kuota deforestasi sebesar 10,43 juta hektare untuk periode 2021-2030, sebagaimana tercantum dalam dokumen Rencana Operasional FoLU Net Sink 2030. Deforestasi sebesar itu, yang setara dengan hampir seperempat luas Pulau Sumatera, diperkirakan dapat menghasilkan emisi hingga 10,1 juta gigaton CO2.

Sekar melihat pola serupa berulang dalam pemerintahan Presiden Prabowo. Pernyataan Prabowo sebelumnya, yang menyebut bahwa Indonesia perlu memperluas lahan sawit tanpa perlu khawatir terhadap dampak deforestasi, dinilai sebagai sinyal yang mengkhawatirkan.

Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, menilai pernyataan tersebut berbahaya. “Ini bisa diartikan oleh aparat negara sebagai instruksi untuk terus melakukan ekspansi lahan dengan membuka hutan alam, yang pasti akan merusak lingkungan,” ujar Andi.

Pada tahun 2024, Satya Bumi telah menerbitkan studi yang menunjukkan bahwa kapasitas lingkungan untuk menampung perkebunan sawit di Indonesia hanya mencapai 18,15 juta hektare. Studi tersebut juga memperingatkan bahwa ekspansi sawit yang melampaui batas tersebut berisiko memicu kerugian besar dalam jangka panjang, baik dari sisi ekonomi maupun ekologi.

“Pernyataan Prabowo bertolak belakang dengan berbagai komitmen iklim, maupun langkah-langkah pengendalian deforestasi yang sudah dilakukan Indonesia,” kata Andi. 

“Selain itu, oversimplifikasi Prabowo terkait deforestasi sangat problematik. Sebagai seorang kepala negara, nyatanya ia tak punya pemahaman yang memadai mengenai deforestasi. Definisi deforestasi tak hanya menyoal hutan gundul, tapi juga mengubah lanskap hutan lindung yang sangat  beragam dengan keanekaragaman hayati, sehingga dapat menangkap karbon dengan jumlah yang sangat besar,” kata Andi. 

Hutan hujan tropis dapat menangkap 7,6 juta karbon per tahun atau setara dengan 15% emisi tahunan dari manusia. Andi mengatakan, jika fungsi ini berubah menjadi perkebunan monokultur seperti sawit, akan menurunkan kemampuan menangkap karbon serta menyedot unsur hara yang sulit direboisasi menjadi hutan alam.

Sumber: https://betahita.id/news/detail/10835/20-juta-hektare-hutan-dibuka-krisis-iklim-kian-parah.html?v=1736338212

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *