Kabar Konservasi

Biodiesel Terkembang, Hutan Alam Tertebang

Pada Agustus tahun lalu, siaran pers pada laman resmi ESDM mengumumkan bahwa pemerintah akan mempercepat implementasi B40 berbasis sawit mulai Januari 2025, meskipun implementasinya ditunda hingga Maret 2025. Melalui pernyataan kepada media, kebutuhan biodiesel untuk memenuhi mandatori tersebut awalnya ditaksir mencapai 17,57 juta kL, meski kemudian taksiran tersebut berkurang menjadi 15,6 juta kL.

Berjalannya program B40 akan memberikan tekanan bagi industri sawit untuk menyediakan lebih banyak crude palm oil (CPO), sebagai sumber utama bahan baku biodiesel hingga kini. Merujuk pada data BPS, rerata produksi CPO di Indonesia pada rentang 2019 hingga 2022 sebesar 46,2 juta ton, dengan rerata ekspor sebesar 27,4 juta ton. Sehingga jumlah CPO yang tersedia untuk produksi biodiesel adalah 18,7 juta ton, dengan asumsi produksi biodiesel mengandalkan CPO dalam negeri.

Dengan menggunakan skema business as usual (BAU), dibutuhkan sebanyak 14,9 juta kL biodiesel setara dengan 16,6 juta CPO untuk memenuhi B40. Penambahan tersebut akan membebani kebutuhan CPO dalam negeri, dengan hanya menyisakan 2 juta ton CPO untuk industri lainnya. Berkurangnya jumlah CPO dalam negeri ini mencapai 2 kali lipat dibanding saat program B35 dilaksanakan. Cepat atau lambat realisasi program B40 akan mengganggu pemenuhan CPO untuk industri lain.

Lebih parah lagi jika program B40 dijalankan sesuai dengan taksiran awal pemerintah, dibutuhkan sebanyak 17,5 juta kL biodiesel atau setara dengan 19,3 juta ton CPO. Berarti Indonesia akan kekurangan 567 ribu ton CPO saat program ini dilaksanakan. Makin tak masuk akal lagi jika program biodiesel dilanjutkan hingga B50 bahkan B100, produksi sawit Indonesia saat ini tidak akan mampu memenuhi kebutuhan Industri biodiesel terhadap bahan baku.

Jalan cepat yang kemudian diambil oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah mengurangi jumlah ekspor atau melakukan perluasan lahan. Meski pemerintah mengatakan bahwa kebutuhan CPO untuk B40 dapat disubstitusi dari pengurangan ekspor, rasanya hal tersebut tak mungkin terjadi. Pasalnya dana yang didapatkan oleh BPDPKS selaku pemberi subsidi biodiesel berasal dari pungutan ekspor CPO dan turunannya.

Belum lagi wacana terbaru pemerintah yang ingin menggabungkan pengelolaan dana untuk komoditas perkebunan lain seperti kakao dan kelapa di bawah BPDPKS. Meski belum jelas asal sumber dana yang akan disalurkan nantinya, kemungkinan besar dana untuk keduanya akan ditopang oleh dana sawit.

Keengganan pemerintah melanjutkan moratorium sawit, hingga wacana penambahan 1 juta hektare lahan sawit di Sulawesi, menunjukkan bahwa sejak awal intensi pemerintah adalah perluasan lahan. Bahkan pasca pemerintahan baru isu pembukaan 20 juta hektare lahan untuk pangan dan energi kian santer. Tuntutan untuk melancarkan program biodiesel ini akan jadi salah satu pemicu utama pembukaan hutan dan degradasi lahan akibat sawit. Ketika ambisi pemenuhan mandatori sawit terus dijalankan, Indonesia akan kekurangan 22 juta ton CPO untuk memenuhi B100. Kekurangan tersebut akan setara dengan ekspansi lahan seluas 5 juta hektare lahan.

Pernyataan problematik Presiden Prabowo pada Desember lalu untuk terus menambahkan kebun sawit, dan tak risau dengan deforestasi, seolah jadi ramalan, bahwa ke depan konversi hutan alam untuk sawit akan makin masif. Hal ini bahkan tercermin pada deforestasi yang terjadi di 2024, deforestasi untuk pembangunan kebun sawit teridentifikasi seluas 37.483 hektare, atau 14% dari total deforestasi di Indonesia pada 2024.

Deforestasi di pulau sentra sawit terutama Sumatera, menunjukkan peningkatan deforestasi sebesar 2 kali lipat dibanding 2023. Parahnya deforestasi ini bahkan tidak hanya menyasar pada konsesi izin sawit, namun di dalam konsesi kehutanan.

Ketiadaan safeguard jelas akan perlindungan terhadap hutan makin memperbesar celah perusakan hutan ke depan. Cara pandang terhadap hutan sebatas komoditas dengan nilai ekonomi hanya mempercepat krisis iklim yang kini tengah berlangsung. Alih-alih mendorong upaya pengembangan biodiesel menggunakan bahan baku bebas deforestasi, kebijakan yang kini dijalankan justru mempercepat kehilangan hutan Indonesia.

Jika pemenuhan bahan baku nabati tidak melulu mengedepankan keuntungan perusahaan besar, maka upaya pengembangan terhadap teknologi dan diversifikasi sumber bahan baku harus dilakukan secara optimal. Sehingga ketergantungan biodiesel terhadap sawit dapat dikendalikan dan meminimalisasi pembukaan lahan untuk biodiesel.

Selain itu, komitmen perusahaan sangat diperlukan agar produk yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan. Transparansi terhadap rantai pasok biodiesel misal, agar pasar dapat menakar sejauh mana kesiapan Indonesia memenuhi bahan baku sawit bagi biodiesel. Hal tersebut dapat juga digunakan sebagai bentuk tanggung jawab produsen sebagai bukti bahwa produknya bersih dari perusakan lingkungan.

Sumber: https://betahita.id/news/detail/10932/biodiesel-terkembang-hutan-alam-tertebang.html?v=1740229632

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *